Senin, 09 Maret 2020

Etika dan Profesi Keguruan #6


Pertemuan minggu keenam
Ni Luh Sriyani (18413241001)

Tugas Manusia adalah Menjadi Manusia

Rabu, 04 Maret 2020 merupakan pertemuan keenam untuk mata kuliah Etika dan Profesi Keguruan. Di minggu ini mungkin tidak banyak hal menarik yang terjadi atau bisa dibilang minggu ini terlalu plat hehe. Tapi, ada satu cerita simpel yang mungkin bisa dijadikan pelajaran hidup dan teladan positif dalam kehidupan sehari-hari. Yaitu ketika saya dan beberapa teman-teman sepulang kuliah langsung mencari tempat makan untuk menghilangkan rasa lapar dan dahaga setelah mengikuti perkuliahan yang begitu melelahkan hehe. Pada waktu itu kami melihat seorang ibu-ibu yang mencoba menyeberang namun karena kendaraan yang lewat sangat banyak dan ramai ibu-ibu itu tertahan dan harus menunggu kendaraan yang lalu lalang sepi agar bisa menyeberang. Namun, pada saat bersamaan saya melihat seorang pemuda yang dengan baik hati menghampiri ibu-ibu tersebut serta membantunya untuk menyeberangi jalan. Pemuda tersebut terlihat menyetop beberapa kendaaraan untuk sesaat dan mentuntun ibunya menuju tempat yang ingin dituju.
Tentu ada pelajaran yang bisa kita ambil dari kejadian tersebut, dimana sebagai seorang manusia sudah selayaknya kita saling membantu dan memudahkan manusia lainnya. Seperti yang dilakukan pemuda kepada seorang ibu yang dengan baiknya mau dengan sepenuh hati menyeberangkan ibunya di tengah lalu lalang kendaraan bermotor. Hal tersebut tentu sangat baik untuk dijadikan contoh positif dalam kehidupan sehari-hari, dimana membantu dan memberi kemudahan pada orang lain dalam kegiatan atau bentuk terkecil yang kita mampu adalah suatu perbuatan yang memiliki nilai moral amat sangat baik dan patut dicontoh serta dijadikan teladan dalam kehidupan sehari-hari. Semoga sebagai manusia kita mampu hadir untuk membantu sesama dalam versi yang bisa kita lakukan dan jangkau karena tugas kita sebagai manusia adalah menjadi manusia.
 

Diary Etika dan Profesi Keguruan #5


Pertemuan minggu kelima
Ni Luh Sriyani (18413241001)

 Syukur dan Kebahagiaan Tanpa Beban 



Rabu, 26 Februari 2020 merupakan pertemuan kelima untuk mata kuliah Etika dan Profesi Keguruan. Di minggu ini banyak hal positif yang telah saya lalui danbisa saya  jadikan pelajaran hidup, mulai dari kegiatan organisasi mahasiswa yang menuntut saya untuk pandai mengatur waktu, kegiatan kerelawanan yang banyak mengajarkan saya tentang berbagi dan belajar bersama orang-orang yang mungkin kurang beruntung dari saya dan banyak kegiatan positif lainnya. Namun, disini saya akan menceritakan satu hal yang mungkin bisa menjadi pelajaran hidup bagi kita semua. Tepatnya di hari minggu saya dan teman2 satu komunitas melaksanakan kegiatan jual baju bekas di Sundmor UGM, kegiatan tersebut kami laksanakan dalam rangka mengumpulkan uang dari sumbangan baju bekas yang mana hasilnya akan disalurkan untuk anak-anak pemulung yang tergabung dalam Sekolah Marginal. Sekolah Marginal sendiri merupakan organisasi pendidikan alternatif yang mewadahi anak-anak pemulung di Desa Kledokan,Caturtunggal untuk dapat mengenyam pendidikan dan merasakan bagaimana iklim proses belajar mengajar. Keberadaan sekolah tersebut sudah digagas sejak dulu oleh mahasiswa yang kini tergabung dalam sebuah perkumpulan yaitu Komunitas Sekolah Marginal. Saya sendiri juga terpanggil untuk ikut membantu pendidikan disana dengan bergabung sebagai relawan pengajar calistung di sekolah tersebut. 

Selama berproses disana, saya mendapatkan banyak sekali pelajaran hidup yang senantiasa membentuk pola pikir dan kepribadian saya menjadi lebih baik. Mengerti akan sebuah kondisi tak layak yang dirasakan anak-anak pemulung disana, namun mereka tak bisa berbuat banyak mengingat pengetahuan yang kurang memadai menjadi faktor sulitnya mereka untuk maju dan berjuang dari keterpurukan kondisi hidup. Selama menjadi relawan disana pemandangan kemiskinan, ketidaklayakan, dan kemarginalan memang setiap hari dapat saya lihat, namun satu hal yang membuat saya kagum adalah ketika melihat betapa anak-anak disana tetap menikmati hidup mereka ditengah ketidaklayakan yang mendera. Mereka tetap bisa bermain dengan canda tawa yang tak dibuat-buat bersama teman-teman yang memiliki nasib yang sama, mereka tetap bisa tertawa cekikikan dengan guyonan yang sederhana, mereka tetap menikmati betapa lezatnya masakan yang dibuat oleh orangtuanya sesama pemulung, juga mereka dengan penuh antusias menikmati proses pembelajaran yang diberikan oleh kakak-kakak Komunitas Sekolah Marginal. Mereka semua menikmati hidupnya tanpa beban yang berarti. Hal tersebut memberikan saya pelajaran tentang betapa kebahagiaan itu bisa kita dapatkan dari hal-hal yang sederhana, hal-hal yang kita nikmati dalam kehidupan ini. Iyaaa, nikmati dengan penuh rasa syukur, seberapapun terpuruknya keadaan kita dalam hidup ini. Syukur menjadikan kehidupan kita lebih bermakna, lebih percaya diri bahwa kebahagiaan bisa dirasakan semua orang tak terkecuali para pemulung sekalipun. Mereka memang memiliki kondisi hidup yang kurang mengenakan tapi hal tersebut tak menghalangi betapa mereka menikmati kebahagiaan hidupnya dengan cara-cara yang sederhana. Syukur menjadi prinsip penting yang membuat hidup mereka bermakna dan bahagia.