Minggu, 23 Februari 2020

Diary Etika dan Profesi Keguruan #4


Pertemuan minggu keempat
Ni Luh Sriyani (18413241001)


 TOLERANSI DALAM KEBERAGAMAN

Rabu, 19 Februari 2020 seharusnya merupakan pertemuan keempat untuk mata kuliah Etika dan Profesi Keguruan, namun hari itu saya tidak mengikuti kelas secara formal dikarenakan masih merayakan hari suci Hindu di Bali. Di pertemuan keempat seharusnya saya mendapatkan materi tentang sejarah pendidikan dan diharuskan untuk mengunjungi museum pendidikan, namun karena acara di Bali berlagsung selama satu minggu alhasil saya belum sempat untuk mengunjungi museum pendidikan dan belum mendapatkan materi tentang sejarah pendidikan. Meskipun begitu, saya sudah berjanji dan bertekad pada diri sendiri untuk mengejar ketertinggalan selama satu minggu dengan mencari dan mempelajari materi secara mandiri dan mengunjungi museum pendidikan ketika sudah di Yogyakarta.
Selama satau minggu ijin tidak mengikuti kelas membuat saya merasa agak khawatir akan ketinggalan banyak materi, namun saya mendapatkan nasehat dari ibu saya bahwa untuk beberapa kali tidak apa untuk mengambil jatah skip kuliah hehe, karena alasannya memang logis dan penting. “kebersamaan dengan keluarga saat-saat hari raya tetap harus diprioritaskan nak, ketinggalan satu atau dua mata kuliah tidak apa, materinya bisa dikejar asalkan kamu tekun kok.” Kata ibu memberikan nasihat. Akhirnya saya menghilangkan kekhawatiran terhadap ketakutan-ketakutan saya, benar kata ibu, kebersamaan dengan keluarga sesekali harus diprioritaskan. Saya percaya bahwa, meskipun saya tidak bisa mengikuti kelas secara formal di hari itu, namun saya yakin bahwa setiap hari saya selalu mendapatkan kelas. Kelas kehidupan. Hehe
Keteladanan yang saya alami waktu itu adalah tentang arti sebuah toleransi. Ketika saya merayakan Hari Suci Galungan di Bali, banyak sekali dari teman-teman non-hindu yang menghubungi saya untuk sekedar mengucapkan selamat hari raya. Bagi saya, hal kecil semacam itu merupakan bentuk toleransi kita sebagai manusia dalam memaknai perbedaan dan keberagaman yang begitu majemuk di Indonesia. Harapannya, semoga kita bisa meningkatkan kesadaran tentang arti sebuah toleransi yang seyogyanya dipupuk sejak usia dini melalui penanaman nilai-nilai kemanusiaan mulai dari skala kecil. Memupuk toleransi mulai dari hal-hal kecil merupakan langkah awal untuk menerima dan menghargai pluralisme atau keberagaman di Indonesia.
Dari peristiwa tersebut saya belajar bahwa toleransi merupakan tindakan yang sangat penting untuk dilaksanakan demi menjamin persatuan antar sesama umat manusia tetap terjaga dengan baik. Toleransi tersebut bisa dipupuk sejak dini melalui tindakan-tindakan yang berskala kecil hingga skala besar. Toleransi akan memperkuat kita sebagai bangsa yang utuh dan bermartabat. Jagalah persatuan bangsa dan mari memupuk toleransi sejak dini mulai dari hal-hal kecil.

Diary Etika dan Profesi Keguruan #3


Pertemuan minggu ketiga
Ni Luh Sriyani (18413241001)



 KASIH DAN SAYANG
 
Kasih sayang seorang ayah pada anaknya
 
Rabu, 12 Februari 2020 merupakan pertemuan ke-3 mata kuliah Etika dan Profesi Keguruan. Pada hari ini mungkin saya akan bercerita tentang keteladanan yang saya lihat secara langsung, dimana keteladanan yang saya lihat dari orang lain juga sekaligus mengajarkan saya banyak hal. Dan saya percaya bahwa semua keteladanan yang saya dapatkan dari setiap peristiwa akan menjadi guru terbaik saya dalam menuntun diri pribadi menjadi lebih baik. Saya percaya bahwa semua orang adalah guru dan semua tempat adalah ruang belajar.
            Hari itu saya dan teman-teman mengunjungi Jogja Bay untuk sekedar refreshing dan berenang menikmati wahana disana. Pada pukul 15.00 WIB saya dan salah satu teman mengakhiri kegiatan renang, sementara tiga teman yang lain tetap melanjutkan kegiatan renagnya sampai puas hehe..  Saya dan salah satu teman memutuskan untuk ganti baju dan menunggu di salah satu taman di Jogja Bay. Di taman itu saya menyaksikan suatu peristiwa yang cukup menggetarkan hati. Dimana ketika itu saya melihat seorang ayah dan anak perempuannya yang kira-kira berusia 5 tahun. Antara ayah dan anak tersebut begitu terlihat sangat akrab, bahkan sang ayah tidak merasa kewalahan ketika harus menggatikan tugas istrinya untuk memakaikan anaknya baju, menyisir rambut anaknya, bahkan membersihkan ingus yang mengalir dari hidung anaknya. Semua hal itu dilakukan sang ayah dengan sepenuh hati, begitu tulus.
            Bagi sebagian orang, kejadi tersebut mungkin terlihat sangat sepele, namun tidak bagi saya. Peristiwa kecil tersebut mengajarkan saya bahwa sebenarnya tugas menjaga anak bukan merupakan sebuah tuntutan namun menjaga dan merawat anak merupakan salah satu bentuk kasih sayang kita pada anugrah yang ditipkan oleh Tuhan. Ketika berbicara tentang tuntutan maka kecenderungannya adalah menjaga dan merawat seorang anak lebih dominan merupakan kewajiban seorang ibu, sedangkan seorang ayah lazimnya berkewajiban untuk menafkahi keluarga. Beda halnya ketika kita berbicara tentang kasih sayang. Kasih sayang akan melahirkan sebuah persfekif bahwa semua orang berhak untuk mengasihi sesamanya karena menjaga dan merawat manusia merupakan wujud dari betapa kita menghargai makhluk ciptaan Tuhan yang bernama manusia. Bagi saya, apa yang dilakukan oleh sang ayah pada anaknya merupakan bentuk kasih sayang yang tulus yang diberikan ayah pada anak dalam bentuk menjaga dan memastikan anaknya aman dan nyaman bersamanya.
Pelajaran yang dapat diambil adalah, bagilah kasih sayangmu pada ssemua makhluk ciptaan Tuhan dalam bentuk dan tindakan apapun yang membuat keberadaannya merasa dihargai, dilindungi, dan dijaga. Terlebih khususnya, gunakanlah kasih sayang untuk memperlakukan manusia selayaknya manusia. Memanusiakan manusia.

Sabtu, 08 Februari 2020

Diary Etika dan Profesi Keguruan #2

Pertemuan Minggu Ke-2
Ni Luh Sriyani (18413241001)


  
Bekerjalah Untuk Hidup dan Hiduplah Dengan Cara Bekerja 


Rabu, 05 Februari 2020 merupakan pertemuan kedua mata kuliah Etika dan Profesi Keguruan. Tak seperti minggu sebelumnya, dimana saya terlambat hingga 30 menit datang ke kelas namun di minggu ini saya sudah bisa datang on time bahkan in time hehe. Btw, kali ini saya tidak akan banyak bercerita tentang aktivitas pembelajaran di kelas selama mendapatkan mata kuliah Etika dan Profesi Keguruan. Tapi, disini saya akan menceritakan satu pengalaman hidup yang saya alami di rentang minggu tersebut. Jadi, tepatnya di hari Sabtu tanggal 8 Februari saya dan teman-teman organisasi melakukan program kerja pertama yaitu Tirta Yatra ke Solo. Tirta Yatra merupakan istilah bagi umat Hindu yang berarti kunjungan ke tempat-tempat suci dalam hal ini kami mengunjungi dua tempat suci yaitu, Pura Pasekan Agung Karanggayar dan Pura Mandira Seta di Solo. Kami mengunjungi dua tempat itu dalam waktu sehari menggunakan transportasi berupa bus. Rombongan sekitar 30 orang. 30 orang tersebut sudah termasuk panitia dan peserta, kami melaksanakan tugas dengan sepenuh hati dan melayani rombongan peserta dengan sepenuh hati pula, karena kami yakin dan percaya, apapun yang dilakukan sepenuh hati maka akan berakhir dengan kedamaian hati yang mampu menenangkan jiwa dan bathin setiap insan manusia.

Langsung saja saya ceritakan pengalaman selama perjalanan, ketika itu saya dan rombongan sampai di Pura Mandira Seta, kebetulan pura tersebut berada di area Keraton Solo. Di sekitaran area Keraton Solo tersebut saya melihat banyak sekali pedagang yang menjual berbagai barang dagangan, mulai dari makanan, minuman, pakaian, pernak-pernik,dll. Tak hanya itu, di area tersebut pula saya melihat lumayan banyak pengemis dan pengamen jalanan yang berusaha meminta belas kasihan pengunjung agar diberikannya uang. Tak sedikit pengunjung yang merasa iba dan menyisihkan uangnya barang seribu, dua ribu, untuk memberikan pengemis tersebut uang. Namun, saya melihat satu teman saya yang memilih untuk tidak memberikan uang kepada pengemis. Teman saya itu lebih memilih memberikan uangnya kepada pengamen daripada pengemis yang terlihat sangat kesusahan. Ketika saya tanya kenapa tidak memberikan uang kepada pengemis juga, tidakkah merasa kasihan kepada mereka, teman saya langsung menjawab, “saya kasihan tapi saya lebih berdosa jika memberikan uang ini pada para pengemis, karena ketika saya memberikan uang ini pada pengemis sama halnya saya mendukung para pengemis untuk tidak mau berusaha dalam mencukupi kebutuhan hidupnya dengan cara bekerja, hanya meminta, saya pun bisa. Itulah mengapa saya lebih memilih memberikan uang ini pada pengamen, setidaknya mereka ada usaha untuk menghibur orang lain meski dengan suara pas-pasan. Dan uang yang saya berikan pada pengamen adalah bentuk apresiasi saya pada mereka atas usahanya bukan bentuk rasa kasihan saya pada mereka.”  Saya merasa tercengang dengan jawaban teman saya, tapi saya kemudian balik bertanya  “apa salahnya kita menaruh belas kasihan kepada sesama manusia yang kondisinya kurang beruntung dari kita ?” teman saya pun kembali menjawab  “Tidak salah. Hanya saja kita harus pandai membedakan mana manusia yang memang kurang beruntung dan mana manusia yang kurang mau berusaha. Bagi saya ketidakberuntungan para pengemis disebabkan karena mereka tidak mau berusaha. Tidak salah menaruh kasihan tapi apa salahnya untuk menyadarkan sesama manusia agar mau berusaha mencukupi kebutuhan hidup dengan cara bekerja tidak dengan cara meminta saja.”

Percakapan saya selesaikan sampai disana dan saya memilih untuk mengambil hikmah dari pengalaman yang saya alami tersebut. Intinya dalam kehidupan ini, Tuhan sudah adil memberikan kita waktu selama 24 jam, jika waktu tersebut kita gunakan hanya untuk berdiam diri sembari meminta tanpa usaha alangkah tidak bergunanya hidup kita. Makan dari hasil berdiam diri dan meminta saja bukankah sebuah ironi yang sepatutnya tidak terjadi. Alangkah baiknya, 24 jam yang diberikan Tuhan, kita gunakan untuk berusaha, bekerja, dan mencari penghasilan hidup dengan cara yang lebih elegan. Sudah sepatutnya kelengkapan indria yang diberikan Tuhan pada manusia kita gunakan semaksimal mungkin untuk menjadikan diri berguna. Berguna untuk diri sendiri, orang lain, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Jangan selalu mengandalkan rasa kasihan orang lain untuk memberikan  kita penghasilan hidup. Bekerja dan berusahalah, agar kamu juga bisa menggunakan rasa empatimu pada orang lain dan memahami bahwa hidup ini tidak hanya untuk berdiam diri dan meminta. Hidup ini adalah gerak yang dinamis dan bagaimana mungkin hidupmu akan dinamis jika kamu hanya berdiam diri tanpa melakukan gerak sama sekali. Hanya meminta. Saya pun bisa. Tapi saya tidak mau. Hehee.